SAJAK-SAJAK 2009
Rumah tua itu lelah meretas sejarah: ada catatan kecil di wajahnya yg gerah dan tangan mungil merengkuh sauh. Nihil
Dinding retak yg lusuh enggan menyapa: suara serak melintasi duka dunia dan mengabarinya rindu. Siapa
Tak ada. Gelap membuka luka tanpa jeda. Lama
PEKALONGAN I
Di buritan burung dan ikan saling tikam. Langit gerah
Mendung bergegas menapaki kelam. Depus. Jauh
Di haluan kulihat ia mengeja senja. Lirih
PEKALONGAN II
Basah merayapi daun-daun dan lembah
Degup bertambah meratapi jalan-jalan rekah
Menghapus langkah-langkah terbelah
Ada laut gundah meredam amarah
Ada sampah menimbun seribu langkah
Ada bah menyusup di sela-sela pasrah
Ada wajah sirna sia-sia. Ada
Dan tak ada.
PEKALONGAN III
Kota ini berisik, mampat, becak terdepak
seperti kotamu lain. Hujan tak lagi menyirami tanah
Megono tak lagi wangi. Hilang kenduri, tinggal serapah
Kali Lojimu menatap kelu, hilang rindu. Siapa berpijak
Sawah, seperti kotamu lain, hilang tak berperi
Orang-orang bergegas bawa kabar tak jelas. Sua di batas
cadas dan hiruk . Gedung, taman, kian terpuruk
Engkaukah itu meringkuk di sela mimpi buruk?
MALAM
Kusampaikan salam pada hening. Malam larut
Kuhitung degup dan denting dalam ribuan sujud. Hati terpaut
Kugenggam erat jam yang meronta: “Jangan berbisik,”katamu
Agar jelas kueja maksudmu satu-satu. Hilang ragu
Kupagut segala sudut Sebelum malam terjaga oleh siang. Hingga kata datang tak berbilang
Malam sia-sia. Aku sirna
SAJAK LUPA
Percuma kau ajari menulis sajak cinta. Padahal ia datang diam-diam, tanpa diundang
Meski kau punya ribuan kata
Tapi masih juga kau lupa meletakkan koma
Percuma aku mengeja cinta
Padahal di beranda ada nganga luka. Kau lupa menutupnya. Masih ada titik
Tapi tak tahu ia kusimpan di mana
Bila sudah kau tulis sajak luka. Cinta tak lagi beriba
Dan tak pula pergi ke mana
SINGAPORE
Di pinggir jalan Orchard namaku dilindas orang-orang bergegas menuju kota yang mampat oleh tas
Barangkali tas itu dari kertas yang letih dan mengeluh lirih. Nafasnya ringkih
Di kepalanya berjalan berjejalan angka-angka yang menyulut api. Jadi abu, jadi perih
Di kotamu yang angkuh kutemukan banyak wajah rapuh
Barangkali wajah itu dari tanah yang kalah dan mudah rekah. Paru-parunya basah
Di punggungnya rangsel merah itu teriak marah. Langit gerah
DAUN PATAH
Kubiarkan bunga sepatu yang tumbuh kacau di halamanku kau cumbu
Kau cegah lebah merambah ke lembah jantung sariku punah. Kelopak patah
Adakah madu yang kau hisap meresap jadi sayap?
Kubiarkan kepompong jadi kupu berpendar atas rindumu
Kau belah putikku agar datang kupu memeluk malammu. Tanah basah
Barangkali sayapmu merintih letih. Langkahmu tertatih
Adakah lagu sunyi yang kau mainkan jadi bunyi?
SIANG
Tadi pagi seseorang yg kukenal mengirimiku kabar baik
Ia bercerita tentang padi dan ikan yg bercengkrama di kolam hujan
Tadi siang seseorang yg tak kukenal mengirimku kabar buruk
Ia mengutuk hujan dan batu jatuh bersatu
Tadi malam bayang-bayang datang menyampaikan salam: kabar hilang di pematang
Sekarang teseorang dan bayangan tak lagi datang, hari sudah siang
PETANG
Ia mungkin datang ketika kita bergegas menyiapkan petang
Sudahkah kau ringkas cinta dan dedaunan dengan pelepah pisang?
Barangkali benci dan duri terpelanting ketika malam hening
Adakah dahan tempat kita berpegang mengabaikan siang?
BULAN
Kemarin sebungkus siang kukirim kepadamu dengan kereta malam melalui lima stasiun yg lama kau abaikan
Tadi pagi kau mengabariku sekotak malam telah kau terima dan kau jadikan hidangan makan siang menjamu teman
Ia mengabariku melihat kunang-kunang berlarian di antara bulir padi di sawah yg basah dan gelisah
Bulan sudah lama tenggelam tak lagi berkisah tentang malam
About this entry
You’re currently reading “SAJAK-SAJAK 2009,” an entry on slametriyadi.com
- Published:
- 02.24.09 / 6am
- Category:
- puisi
2 Comments
Jump to comment form | comments rss [?] | trackback uri [?]